Portal Pantura, Jakarta – Pengamat politik dan hukum dari Mujahidin 212, Damai Hari Lubis, menyoroti insiden penyerangan yang terjadi di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, saat berlangsungnya diskusi Forum Tanah Air (FTA). Menurutnya, ada aktor intelektual yang memanfaatkan para eksekutor lapangan dalam serangan tersebut, yang seharusnya dilihat sebagai korban dalam dinamika politik dan hukum di Indonesia saat ini.
Dalam pernyataan tertulis yang disampaikan pada Minggu 29 September 2024, Damai menyarankan agar para pelaku eksekusi lapangan diberikan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Alasannya, para pelaku lapangan ini tidak bertindak atas kehendak sendiri, melainkan karena diperalat oleh pihak-pihak berkepentingan yang lebih besar.
Distorsi Hukum di Era Jokowi
Damai mengungkapkan bahwa di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), telah terjadi distorsi hukum yang kentara. Hukum, menurutnya, sering kali dijalankan dengan pola yang tidak jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keadilan. “Banyak tatanan hukum yang sengaja didistorsikan melalui pola suka-suka atau sungsang, di mana keputusan hukum dibuat tanpa mempertimbangkan legalitas yang tepat,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa para pelaku lapangan dalam kasus ini sepatutnya dilihat secara objektif sebagai korban dari sistem yang bermasalah. Mereka, menurut Damai, hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh aktor intelektual yang memanfaatkan kelemahan psikologis dan ekonomi mereka.
Pola Hukum yang Tidak Konsisten
Lebih lanjut, Damai menyoroti bagaimana penegakan hukum di Indonesia sering kali terhambat, terutama dalam kasus-kasus besar yang melibatkan tokoh-tokoh politik berpengaruh. Ia menyebut sejumlah nama seperti Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Luhut Binsar Pandjaitan, yang menurutnya terlibat dalam berbagai kasus hukum namun tidak mengalami proses hukum yang jelas. “Bahkan, beberapa di antaranya malah mendapatkan jabatan strategis, sementara proses hukum terhadap mereka stagnan,” katanya.
Hal ini menunjukkan adanya pola penegakan hukum yang tidak konsisten, di mana para pelaku kejahatan dengan latar belakang politik sering kali lolos dari jerat hukum, sementara masyarakat biasa atau pelaku lapangan yang tidak memiliki kekuatan politik dijadikan kambing hitam.
Diskusi Forum Tanah Air yang Diserang
Penyerangan di Hotel Grand Kemang terjadi saat berlangsungnya acara diskusi Forum Tanah Air, yang dihadiri oleh berbagai tokoh dan aktivis nasional lintas agama, ras, dan golongan (SARA). Menurut Damai, diskusi tersebut diadakan dalam rangka Silaturahmi Kebangsaan Diaspora, yang bertujuan untuk mempererat hubungan antar masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang.
Damai menilai bahwa para pelaku penyerangan tidak memiliki motif pribadi terhadap para peserta diskusi. Sebaliknya, mereka hanyalah eksekutor yang diarahkan oleh pihak-pihak yang lebih kuat, yang memiliki kepentingan politik tersembunyi.
“Dalam situasi ekonomi yang sedang sulit, para pelaku lapangan ini mudah dipengaruhi oleh iming-iming imbalan yang tidak seberapa, sehingga mereka bersedia melakukan tindakan kekerasan,” jelasnya.
Peran Aktor Intelektual dalam Kejahatan
Damai juga menegaskan bahwa ada aktor intelektual yang bertanggung jawab di balik serangan tersebut. Ia menyebut istilah “doen pleger” untuk menggambarkan pihak yang menyuruh para pelaku lapangan, serta “uitlokker” untuk pihak yang membujuk dan merayu para eksekutor untuk melakukan tindakan tersebut. “Justru para aktor intelektual inilah yang harus dihukum seberat-beratnya, karena mereka memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh para pemuda pelaku lapangan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa tindakan tersebut mungkin saja dilakukan sebagai upaya pengalihan isu dari kasus lain yang lebih besar, seperti kasus yang melibatkan akun media sosial “fufu fafa” yang ramai dibicarakan belakangan ini. Damai menilai bahwa tindakan tersebut hanyalah langkah politik sesaat yang memakan korban di lapangan.