Portal Pantura – Istilah “generasi strawberry” atau “strawberry generation” akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat, khususnya di kalangan pemerhati perkembangan generasi muda.
Fenomena ini muncul sebagai kritik terhadap karakteristik yang dianggap mewakili generasi muda masa kini—terlihat menarik dan berpotensi besar, namun dianggap kurang tangguh dalam menghadapi kesulitan.
Istilah ini diambil dari sifat buah stroberi yang dikenal menarik dan lezat, tetapi juga rentan dan mudah rusak.
Generasi strawberry dilukiskan sebagai generasi yang secara penampilan dan kemampuan tampak menjanjikan, namun kerap kali dianggap kurang siap menghadapi tantangan di dunia nyata.
Apa Itu Generasi Strawberry?
Generasi strawberry merujuk pada sekelompok individu, umumnya dari generasi muda saat ini, yang dinilai memiliki banyak potensi.
Namun, karakter mereka dinilai kurang tahan banting saat dihadapkan pada tekanan atau masalah.
Perkembangan istilah ini sering dikaitkan dengan pola asuh orang tua yang berlebihan dalam memberikan kenyamanan dan dukungan.
Istilah “strawberry parents” atau “orang tua stroberi” digunakan untuk menggambarkan para orang tua yang membesarkan anak-anak ini dengan memberi mereka kemudahan dan perlindungan berlebihan.
Orang tua dalam kelompok ini kerap kali memberikan kenyamanan berlebih kepada anak-anaknya, seperti selalu menyediakan apa yang dibutuhkan dan menjaga agar mereka tetap dalam kondisi baik.
Maksudnya mungkin untuk memberikan dukungan optimal, namun ada kekhawatiran bahwa pendekatan ini justru membuat anak-anak kurang terbiasa dengan tantangan dan tidak mengembangkan kemampuan untuk mengatasi stres dan kesulitan hidup.
Dampaknya, mereka berisiko menjadi rapuh dan kurang siap menghadapi dinamika dan tekanan dalam berbagai situasi kehidupan dewasa.
Akar Masalah dan Pola Asuh Berlebihan
Pakar pendidikan dan psikologi menyebut bahwa generasi strawberry adalah produk dari pola asuh yang sering disebut sebagai “over-parenting.”
Dalam pola asuh ini, orang tua sering merasa perlu melindungi anak dari berbagai hal yang berpotensi menimbulkan stres, bahkan sekecil apa pun.
Akibatnya, anak-anak ini mungkin tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar menghadapi tekanan, menyelesaikan konflik, atau memahami konsekuensi dari tindakan mereka sendiri.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam kondisi seperti ini cenderung kurang mengembangkan keterampilan sosial yang baik dan kurang percaya diri.
Mereka terbiasa mendapatkan segala hal dengan mudah dan jarang berhadapan langsung dengan masalah.
Hal ini bisa berdampak pada ketahanan mental yang kurang optimal ketika mereka harus menghadapi dunia kerja atau situasi hidup yang lebih kompleks dan tak terduga.