Portal Pantura – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mencatat bahwa dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, terdapat 41 daerah yang hanya memiliki calon tunggal.
Dari jumlah tersebut, satu merupakan pemilihan tingkat provinsi, sementara sisanya adalah kabupaten/kota.
Fenomena calon tunggal ini menjadi sorotan karena umumnya diikuti dengan kemenangan telak bagi pasangan calon tunggal yang bisa dilihat melalui hasil hitung cepat.
Namun, hasil berbeda terjadi di sejumlah daerah.
Salah satunya di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, di mana pasangan calon tunggal Paramitha–Wurja hanya mampu memperoleh 57,3 persen suara. Kotak kosong berhasil meraih 42,7 persen suara.
Hasil Quick Count di Brebes
Menurut data hitung cepat yang dirilis oleh lembaga survei Charta Politika, pasangan Paramitha-Wurja unggul dengan 57,3 persen suara, sementara kotak kosong mengantongi 42,7 persen.
Sampel survei diambil dari 200 TPS yang tersebar di 17 kecamatan di Kabupaten Brebes.
Meski pasangan calon unggul di 13 kecamatan, kotak kosong justru menang di 4 kecamatan, yakni Brebes, Bulakamba, Wanasari, dan Tanjung.
Kemenangan calon tunggal di Brebes ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa pasangan yang didukung seluruh partai politik di DPRD Brebes hanya mampu mengamankan 57,3 persen suara? Dan bagaimana kotak kosong berhasil meraih 42,7 persen suara?
Analisis: Faktor Penolakan Calon Tunggal
Capaian suara kotak kosong sebesar 42,7 persen di Brebes mencerminkan adanya dinamika politik yang tidak sederhana.
Beberapa faktor yang mungkin menjelaskan fenomena ini adalah sebagai berikut:
1. Ketidakpuasan Publik terhadap Calon Tunggal
Sebagian pemilih mungkin merasa pasangan Paramitha-Wurja tidak cukup mewakili aspirasi mereka.
Ketidakpuasan ini dapat mendorong mereka memilih kotak kosong sebagai bentuk protes politik.
2. Sosialisasi yang Tidak Optimal
Sosialisasi pasangan calon merupakan kunci kemenangan, bahkan untuk calon tunggal.
Jika kampanye tidak dilakukan dengan maksimal atau gagal menjelaskan visi dan misi kepada masyarakat, potensi dukungan pun melemah.
3. Kinerja Mesin Partai Politik
Meski didukung oleh seluruh partai politik di DPRD, koordinasi dan mobilisasi mesin partai tidak selalu berjalan efektif.
Dalam beberapa kasus, dukungan formal dari partai politik tidak serta-merta menjamin dukungan penuh dari masyarakat.
4. Gerakan Pro-Kotak Kosong
Dukungan untuk kotak kosong sering kali bukan semata pilihan individual, tetapi hasil dari gerakan kolektif.
Tokoh masyarakat atau kelompok tertentu mungkin secara tidak langsung mendorong pemilih untuk memilih kotak kosong sebagai simbol penolakan terhadap pasangan calon yang ada.
5. Minimnya Pilihan Alternatif
Pemilihan dengan hanya satu calon menciptakan situasi tanpa kompetisi.
Pemilih yang tidak merasa cocok dengan calon tunggal tidak memiliki pilihan lain selain memilih kotak kosong.
6. Kesadaran Demokrasi Masyarakat
Pilihan untuk mendukung kotak kosong bukan hanya sekadar aksi protes, tetapi juga bentuk kesadaran demokrasi.
Pemilih yang memahami hak pilih mereka menyadari bahwa suara untuk kotak kosong dapat menjadi pesan kolektif bahwa calon tunggal belum sepenuhnya mendapat legitimasi publik.
Pelajaran dari Pilkada Brebes
Fenomena di Brebes menjadi catatan penting bahwa meskipun calon tunggal sering kali dianggap memiliki peluang menang yang besar, legitimasi tetap menjadi tantangan.
Dukungan partai politik saja tidak cukup untuk menjamin kemenangan telak, terutama jika kepercayaan masyarakat terhadap pasangan calon tidak sepenuhnya terbangun.
Dalam konteks demokrasi, kehadiran lebih dari satu pasangan calon sangat penting.
Kompetisi politik yang sehat memberikan masyarakat alternatif pilihan yang lebih representatif.
Selain itu, hasil ini juga menjadi pengingat bagi partai politik dan penyelenggara pemilu untuk memastikan bahwa proses seleksi dan sosialisasi calon berjalan dengan baik.
Tingkat Partisipasi dan Dinamika Politik
Tingkat partisipasi pemilih di Brebes tercatat cukup tinggi, meski tidak disebutkan secara spesifik dalam hitung cepat ini.
Fakta bahwa kotak kosong berhasil meraih 42,7 persen suara menunjukkan bahwa masyarakat di Brebes menggunakan hak pilih mereka dengan cukup aktif, baik untuk mendukung calon tunggal maupun untuk menyuarakan penolakan terhadapnya.
Ke depan, penyelenggara pemilu, partai politik, dan para calon diharapkan dapat lebih memahami aspirasi masyarakat.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap pemilu tidak hanya menghasilkan pemimpin yang sah, tetapi juga mendapatkan kepercayaan penuh dari mayoritas masyarakat.***