Beberapa waktu belakangan ini viral tentang rencana konser grup musik asal London yang populer dengan lagu “Yellow”, grup band ini bernama Coldplay salah satu band beraliran musik rock yang digawangi oleh Chris Martin, sang vokalis. Konon, harga ticketnya lumayan fantastis. Jika berkeinginan mengundang band ini, tarifnya mencapai angka 1M.
Namun, yang menjadi polemik adalah band ini dikenal publik sebagai salah satu pendukung kaum LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Sang vokalis, Chris Martin acapkali membawa atribut kaum pelangi, nama lain dari LGBT setiap aksi panggungnya. Bahkan, secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap eksistensi LBGT.
Sebetulnya, LGBT bukanlah isu baru di negeri ini. Isu ini semacam “proxy war” yang di ekspor atau mungkin sengaja dikampanyekan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Fenomena kaum LGBT merupakan persoalan persoalan yang sangat krusial, sebab hal itu merupakan perbuatan yang berkaitan dengan seksualitas dan religiusitas.
Para pelaku LGBT ini mereka memperjuangkan eksistensinya untuk diakui secara legal di Indonesia. Beberapa waktu lalu misalnya, AILA (Aliansi Cinta Keluarga) meminta hubungan sejenis dilegalkan oleh MK atau Mahkamah Konstitusi. Adapun materi gugatan AILA tersebut adalah pasal 284, 285, dan 292 KUHP yang mengatur perzinahan, pemerkosaan, dan pencabulan anak. Namun, dalam putusannya MK menolak permohonan tersebut.
Secara norma, baik norma agama, norma sosial maupun norma hukum seksualitas merupakan perbuatan yang memiliki nilai kesucian. Oleh karenanya, hal tersebut diatur dalam suatu ikatan perkawinan, di Indonesia hal tersebut diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan : “Perkawinan ialah ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sementara pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ikatan perkawinan adalah ikatan yang suci yang tujuannya adalah membentuk keluarga yang kekal dan bahagia yakni bertujuan melahirkan keturunan. Sementara perilaku seksualitas LGBT menentang kodrat tersebut, sehingga tidak mungkin mendapat keturunan.
Sebuah perkawinan dalam frasa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sependek pengetahuan saya, bahwa semua agama ataupun kepercayaan apapun yang diakui di Indonesia tidak ada satupun yang membolehkan pernikahan sesama jenis. Perbuatan tersebut selain bertentangan dengan fitrah manusia juga merupakan tindakan yang melanggar norma agama. Sebagiamana ketentuan dalam pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang “Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
Sehingga jelas, bahwa LGBT merupakan perbuatan yang secara hukum bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Meskipun dilakukan atas dasar suka-sama suka, apalagi ada sebagian kalangan yang ingin melegalkan hubungan tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Perbuatan Melawan Hukum tersebut adalah pelanggaran terhadap UU Perkawinan, yakni sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 UU Perkawinan, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pendapat ini juga diperkuat oleh salah satu pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul. Menurutnya LGBT itu dilarang berasal dari semangat UU Perkawinan yang secara gamblang menyebut ikatan lahir batin antara pria dengan wanita.
Sebagiamana dikutip dari CNN, ia mengatakan “Semangat UU Perkawinan itu melarang LGBT. Perkawinannya dilarang pasti turunannya dilarang dong. Ini penafsiran”.
Bahkan, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan paksaan, intimidasi ataupun bujuk rayu dapat dikategorikan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP. Sehingga tidak heran kiranya pendukung kelompok ini memperjuangkan untuk mengubah ketentuan dalam beberapa pasal KUHP sebagaimana tersebut diatas, di MK untuk dilakukan Judivial Review. Namun, sekali lagi kita perlu mengapresiasi keputusan MK yang telah menolak permohonan tersebut.