Beberapa waktu lalu, heboh terkait pembubaran suatu pengajian yang dilaksanakan oleh kelompok masyarakat di Pasuruan, Jatim. Dalam pengajian tersebut warga mendatangi sebuah rumah yang dijadikan lokasi pengajian. Pengajian yang diadakan di halaman itu dihadiri puluhan jemaah berpakaian serba putih. Tampak banner “Khilafah Mengakhiri Hegemoni Dolar dengan Dinar dan Dirham”, sebagaimana dikutip dari detik.com, Kamis 29 Juni 2023 11.19 WIB.
Berkaitan hal tersebut, saya mencoba memberikan pendapat hukum. Bahwa tindakan main hakim sendiri seperti yang diberitakan di media detik.com tersebut dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum.
Pertama, melaksanakan kegiatan keagamaan adalah kegiatan yang dilindungi oleh Undang-undang, sebab hal itu merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (1) dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Kedua, melaksanakan kegiatan keagamaan juga merupakan hak azasi setiap warga negara. Sebab hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (UU HAM). Sebagaimana diatur dalam pasal 4 dan pasal 22 ayat (1) dan (2) UU HAM.
Ketiga, Perbuatan menghalang-halangi kegiatan ibadah dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Hal tersebut diatur dalam pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam pasal tersebut dikatakan : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Dalam pasal 175 KUHP tersebut, menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan :
- “Pertemuan umum agama” adalah semua pertemuan yang bermaksud untuk melakukan kebaktian agama;
- “Upacara agama” adalah kebaktian agama yang diadakan baik di gereja, mesjid, atau di tempat-tempat lain yang lazim dipergunakan untuk itu;
- “Upacara penguburan mayat” adalah baik yang dilakukan waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada di perjalanan ke kubur, maupun di makam tempat mengubur.
Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah bahwa “pertemuan umum agama” tersebut tidak dilarang oleh negara.
Berdasarkan penjelasan dari R. Soesilo tersebut menjelasakn bahwa perbuatan menghalang-halangi kegiatan keagamaan adalah perbuatan pidana, dan hal ini berlaku untuk umum bagi semua agama yang diakui di Indonesia.
Dalam penjelasan lanjutan, beliau mengatakan bahwa Pertemuan agama tersebut tidaklah dilarang oleh Pemerintah.
Berdasar hal itu, saya mencoba memberikan pendapat hukum berkaitan pembubaran pengajian dengan tema yang menurut pihak yang membubarkan adalah pengajian meresahkan.
Pertama, perlu dipahami pengajian macam apa yang dibahas dalam acara tersebut. Berdasarkan berita dari detik.com disebutkan bahwa tema yang diangkat adalah “Khilafah Mengakhiri Hegemoni Dolar dengan Dinar dan Dirham”. Adapun tema tentang khilafah bukan lah ajaran yang sesat. Bahkan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada 2021 di Jakarta menegaskan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam.
Kedua, terkait Dinar dan Dirham keduanya adalah sistem mata uang yang berlaku pada masa Rasulullah Saw, dan hingga saat ini masih merupakan ajaran Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh. Adapun Dolar merupakan mata uang Asing milik Amerika yang dipaksakan untuk diterima sebagai mata uang yang diakui dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka perlu kiranya kita lebih bijak dalam menghadapi perbedaan, jangan sampai tindakan yang kita lakukan justru menciderai hak dan kebebasan orang lain dalam melaksanakan ajaran agamanya. Sehingga justru menimbulkan perbuatan pidana.***
***) Penulis: Adi Attsani, SH. Adv. (Direktur Kajian & Advokasi LBH PU Jateng)